Cinta Sepotong Mimpi
Rabu, 09 Mei 2012
0
komentar
Penulis : Hara Hope*
Dapatkah
seseorang mencinta hanya karena sepotong mimpi? Mustahil. Namun, adikku
semata wayang mengalaminya – setidaknya itu yang diakuinya.
Gadis
yang dicintainya adalah Lala, adik sepupunya sendiri. Wajar, bukan?
Bahkan, menjadi halal saat kedua orang tuaku kemudian berpikir untuk
meminangnya.
Semua
berawal dari penuturan Jamal. Ia bilang, ia memimpikan Lala sebagai
gadis yang diperkenalkan Ibu kepadanya sebagai calon istrinya.
“Kami
sudah saling mengenal, Bu,” kata Jamal dalam mimpi itu dengan
malu-malu. Gadis itu pun mengangguk dengan senyum malu-malu pula.
Sebenarnya
Jamal tidak terlalu meyakini gadis itu adalah Lala. Wajahnya samar
terlihat. Namun, Jamal merasakan aura gadis itu cukuplah ia kenal.
Hebatnya, ini diperkuat oleh ayah kami. Di malam yang sama, beliau
bermimpi tentang Jamal yang duduk di kursi pelaminan bersama Lala!
Apakah ini pertanda? Entah. Hanya saja, sejak itu aku merasakan
pandangan Jamal terhadap Lala berubah.
Mereka
sebenarnya teman bermain di waktu kecil, namun tak pernah bertemu lagi
sejak remaja. Keluarga Lala tinggal jauh di Surabaya, sementara kami di
Jakarta. Kami jarang berkumpul, bahkan saat lebaran, sehingga kenangan
yang dimiliki Jamal tentang Lala adalah kenangan di masa kecil dulu
sebagai abang yang kasih kepada adiknya. Kasih dimana sama sekali tak
terpikirkan untuk memandang Lala sebagai gadis yang pantas dicintai,
bahkan halal dinikahi. Namun, mimpi itu mampu menyulap semuanya
menjadi…cinta (?).
Mari
katakan aku terlalu cepat menyimpulkan sebagai cinta. Barangkali saja
itu hanya pelangi yang tak kunjung sirna mengusik relung hati adikku.
Pelangi yang mampu merubahnya menjadi sok melankolis hingga membuat kami
sekeluarga khawatir melihat ia kerap termenung menatap kejauhan, untuk
kemudian mendesah perlahan.
“Mungkin kau harus menemuinya di Surabaya,” kata Ibu.
”Rasanya tak usah, Bu. Masak hanya karena bunga tidur aku menemuinya,” jawab Jamal.
”Barangkali saja itu pertanda.”
”Bahwa Lala jodoh saya?”
”Bukan.
Bahwa sudah lama kau tak mengunjungi mereka untuk bersilaturahmi. Biar
nanti Mbakmu dan suaminya yang menemanimu kesana.”
Jamal tertegun sejenak untuk kemudian mengangguk.
Wah,
pintar sekali Ibu membujuk. Padahal tanpa sepengetahuan adikku yang
pendiam itu, Ibu menyerahi kami tugas untuk ”meminang” Lala. Ibu
betul-betul yakin mimpi itu sebagai pertanda sehingga memintaku
menanyakan kepada Lala tentang kemungkinan kesediaannya dipersunting
Jamal.
”Kenapa tidak minta langsung saja pada Paklik? Biar mereka dijodohkan saja,” kataku waktu itu.
”Ah, adikmu itu takkan mau.”
”Tapi…”
”Sudahlah.
Ibu tahu Jamal belum terlalu dewasa. Kuliah saja belum selesai. Tapi
setidaknya ia memiliki penghasilan dari usaha sambilannya berdagang,
‘kan?”
“Bukan itu maksudku. Apa Ibu yakin Jamal mau dengan Lala? Barangkali saja mimpinya hanya romantisme sesaat.”
Ibu tercenung. Aku
yakin Ibu belum memastikan ini. Yang beliau tahu hanya Jamal yang
bertingkah aneh. Itu saja. Selebihnya ia perkirakan sendiri. Sepertinya
justru Ibulah yang ngebet ingin meminang Lala.
”Kupercayakan semua itu padamu.”
Walah! Berarti tugasku berlipat-lipat! Selain memastikan kesediaan Lala, aku pun harus memastikan perasaan adikku sendiri.
***
Ia diam. Sudah kuduga reaksinya begitu jika kutanyakan tentang kemungkinan perjodohannya dengan Lala.
“Kamu mencintainya?” Aku mengganti pertanyaan. Kali ini Jamal malah terkekeh.
”Mungkin… Entahlah. Rasanya tak wajar.”
Tentu saja tak wajar! Bagiku, mencinta karena sepotong mimpi hanya omong kosong. Lagi pula Jamal tak tahu seperti apa wajah dan kepribadian Lala dewasa ini. Aku pun tak tahu.
“Santai saja, Mal. Tak usah dipikirkan. Yang penting kita tiba dulu di sana,” kata Bang Rohim, suamiku.
***
Setiba di Surabaya, kami disambut keluarga Lala hangat.
”Wah, iki Jamal tho? Oala, wis gedhe yo?!” ucap Bulik.
Jamal hanya tersenyum. Apalagi saat pipi gendutnya dijawil Bulik seperti saat ia kanak-kanak dulu.
”Mana Lala, Bulik?” tanyaku saat tak mendapati anak semata wayangnya itu.
”Ada di dapur. Sedang bikin wedhang.”
Aku segera ke dapur. Aku sungguh penasaran seperti apa Lala sekarang. Kulihat seorang gadis di sana. Subhanalah,
cantiknya! Ia mencium tanganku. Hmm, santun pula. Cukup pantas untuk
Jamal. Tapi, aku harus menahan diri. Kata Bang Rohim, butuh pendekatan
persuasif untuk menjalankan misi ini. Aku tak yakin aku bisa sehingga
menyerahkan sepenuhnya skenario kepadanya.
Tak
banyak yang dilakukan Bang Rohim selain meminta Lala menjadi guide
setiap kami bertiga pergi ke pusat kota. Ia melarangku membicarakan soal
perjodohan, pernikahan, pinangan atau apapun istilahnya kepada Lala. Katanya,
kendati kami keluarga dekat, sudah lama kami tidak saling bersua. Bisa
saja Lala memandang kami sebagai ”orang asing”. Upaya melancong bersama
ini demi untuk mengakrabkan kembali Jamal, Lala dan aku. Kiranya ini
dapat memudahkanku saat mengutarakan maksud kedatangan kami sesungguhnya
nanti.
Malam ini saat dimana aku diperbolehkan suamiku mengungkapkan semuanya kepada Lala. Seharusnya
memang begitu. Tapi Jamal mendahuluiku. Tak kusangka ia serius dengan
perasaannya. Ia utarakan semuanya. Tentang mimpinya, tentang jatuh
cinta, bahkan tentang pinangan.
“Mungkin
Dik Lala menganggap ini konyol. Abang juga merasa begitu. Tapi,
setidaknya sekarang Abang yakin dengan perasaan Abang. Jadi, mau tidak
kalau Lala Abang lamar?”
Bukan
manusia kalau Lala tidak kaget ditembak seperti itu. Ia tampak galau.
Seperti aku dulu. Sayang Lala tak merespon seperti aku merespon pinangan
Bang Rohim dulu.
“Maaf, Mas. Aku terlanjur menganggapmu sebagai kakak. Rasanya sulit untuk merubahnya.”
Berakhirlah. Sampai
di sini saja perjuangan kami di Surabaya. Jamal tersenyum mengerti,
namun kuyakini hatinya kecewa. Cintanya yang magis tak berakhir manis.
Kami pulang ke Jakarta dengan penolakan.
Sejak
hari itu, Jamal tak terlihat lagi melankolis. Ia kembali sibuk dalam
aktivitasnya. Adikku itu benar-benar hebat. Kendati patah hati, ia tak
mau larut dalam perasaannya. Bahkan, belakangan aku tahu ia belum
menyerah. Setidaknya penolakan itu berhasil mengakrabkan kembali Jamal
dengan Lala. Mereka berdua kerap berkirim SMS sekedar menanyakan kabar
ataupun saling bercerita. Jamal betul-betul memandang ini sebagai
peluang untuk mengubah pandangan Lala terhadapnya.
Waktu
kian berganti hingga masa dimana Jamal mengutarakan lagi keinginannya
itu. Sayang ditolak lagi. Begitu berulang hingga tiga kali.
Ayah dan Ibu prihatin melihatnya. Mereka tak bisa berbuat banyak. Keinginan mereka untuk menjodohkan saja keduanya Jamal tolak.
”Syarat
orang yang menjadi calon istriku, haruslah tulus ikhlas menjadi
pendampingku. Atas kemauannya sendiri, bukan pihak lain!” Begitu
alasannya selalu.
Terserahlah
apa katanya. Tapi ini sudah menginjak tahun kelima Jamal memelihara
cinta tak kesampaian ini. Usianya kian mendekati kepala tiga. Cukup
mengherankan ia tetap memeliharanya terus. Rasanya tak layak cinta itu
dipelihara terus. Ia harus diberangus. Lala bukanlah gadis terakhir yang
hidup di dunia. Untuk itu Ibu, Ayah dan aku kongkalikong untuk membunuh
cinta Jamal. Sudah saatnya ia mempertimbangkan gadis-gadis lain.
Kebetulan ada yang mau. Pak Haji Abdullah sejak lama ingin bermenantukan
Jamal dan menyandingkannya dengan Azisa, anak sulungnya. Kami susun
perjodohan tanpa sepengetahuan Jamal. Lantas, kami sekeluarga berusaha
”menghasut” Jamal untuk memperhitungkan keberadaan Azisa, temannya sejak
SMU itu.
Alhamdulillah
berhasil. Hati Jamal mulai terbuka untuk Azisa sehingga saat Pak Haji
Abdullah meminta dirinya menjadi menantu, ia tak punya lagi pilihan
selain mengiyakan.
***
Kesediaan
Jamal memang sudah didapat, namun anehnya ia tak kunjung juga
menentukan tanggal pernikahan. Kali ini naluriku sebagai kakak turut
bermain. Rasanya Jamal tengah menghadapi masalah yang tak dapat
dibaginya kepada siapapun, termasuk Azisa. Saatnya aku menjadi kakak
yang baik untuknya.
”Entahlah, Mbak. Rasanya aku tak siap untuk menikah.”
Mataku terbelalak saat Jamal mengutarakan penyebabnya.
”Apa
pasal?” tanyaku agak jeri. Aku tak berani membayangkan jika Jamal
tiba-tiba membatalkan perjodohan. Keluarga kami bisa menanggung malu!
”Rasanya Azisa bukan jodohku.”
Aku semakin terkesiap. Aku mulai menduga-duga arah pembicaraannya.
”Lala-kah?” tanyaku. Jamal mengangguk pelan, namun pasti.
”Sebenarnya
mimpi tempo hari itu tak sekonyong datang. Aku memintanya kepada Tuhan.
Aku meminta Dia memberikan petunjuk tentang jodohku kelak. Dan yang
muncul ternyata Lala!”
Aku kembali terdiam. Aku
benar-benar payah. Sudah setua ini, masih saja tak dapat menjadi kakak
yang baik buat Jamal. Aku bingung harus menanggapi bagaimana.
”Maafkan jika selama ini Mbak tak bisa menjadi kakak yang baik, Mal. Bahkan
untuk masalahmu satu ini pun Mbak tak bisa menjawab. Hanya saja, kita
tak akan pernah benar-benar tahu apa yang kita yakini benar itu sebagai
kebenaran, Mal. Termasuk mimpimu. Mbak tidak tahu lagi harus
menganggapnya omong kosong ataukah benar-benar pertanda. Kalaulah mimpi
itu pertanda, pasti banyak sekali maknanya.”
”Kamu
memaknainya sebagai cinta dan jodoh, Ibu memaknainya sebagai
silaturahmi dan Ayah memaknainya sebagai tipikal istri ideal bagimu.
Bukankah Azisa pun tak berbeda jauh dengan Lala? Mimpi itu nisbi, Mal.”
Jamal hanya mendesah pelan sambil memandang kejauhan. Mukanya masam. Mungkin tak menghendaki aku bersikap tak mendukungnya.
”Mungkin,”
lanjutku, ”ini hanya masalah cinta saja. Mungkin hatimu masih hidup
dalam bayangan Lala dan tak pernah sekali pun memberi kesempatan untuk
dimasuki Azisa. Kau hidup di kehidupan nyata, Mal. Sampai kapan akan
menjadi pemimpi?!”
Aku tersentak oleh ucapanku sendiri. Tak
kuduga akan mengucapkan ini. Bukan apa-apa. Beberapa waktu lalu kami
mendengar kabar Lala menerima pinangan seseorang. Kendati menyerah, aku
yakin Jamal masih memiliki cinta untuk Lala. Ia pasti sakit. Aku
betul-betul kakak yang tak peka. Aku menyesal. Aku peluk Jamal, menangis
sesal.
Jamal turut menangis. Isaknya berenergi kekesalan, kekecewaan, kesepian, keputus-asa-an, bahkan kesepian. Aku terenyuh. Betapa ia menderita selama ini.
“Besok
kita batalkan saja perjodohan dengan Azisa, Mal. Itu lebih baik
ketimbang kau tak ikhlas menjalaninya nanti. Itu katamu tentang
pernikahan, ‘kan? Kita bicarakan dulu dengan Ayah dan Ibu.”
Kupikir
ini yang terbaik. Tak bijak rasanya tetap berkeras melangsungkan
perjodohan di saat Jamal rapuh begini. Di saat Jamal terluka dan bimbang
pada perasaannya. Biarlah keluarga kami menanggung malu bersama.
“Tidak. Kita teruskan saja. Aku
ikhlas menjalani sisa hidupku bersama Azisa. Mungkin aku hanya
membutuhkan sedikit menangis saja. Aku pergi dulu ke rumah Pak Haji
untuk membicarakan ini. Assalamu’alaikum.”
Kutatap
kepergian Jamal dengan perasaan tak tentu. Kalau diingat semua ini
terjadi karena mimpi. Ya, Allah apakah benar mimpi itu pertanda-Mu?
Jikalau benar kenapa sulit sekali terrealisasi? Jika pun tidak benar
kenapa banyak orang mempercayai?
Aku
terpekur. Maafkan aku adikku. Aku hanyalah insan, yang tak mampu
menerjemahkan segala misteri-Nya, bahkan yang tersurat sekalipun. Aku
hanya berusaha. Dia tetap yang menentukan. Maafkan aku.
* Juara Harapan IV Lomba Menulis Cerpen Ummi 2004.
Sumber : Majalah Ummi, No. 12/XVI April 2005/1426 H
0 komentar:
Posting Komentar